Di awal tahun 2025, dunia politik Indonesia dihebohkan dengan kasus penyidikan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Hasto ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 24 Desember 2024, terkait suap untuk pergantian anggota DPR RI. Kasus ini melibatkan mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan, dan buronan KPK, Harun Masiku, yang ingin mengisi posisi Nazarudin Kiemas yang sudah meninggal.
Hasto diduga memberikan instruksi kepada tim hukum PDIP dan melobi KPU untuk memuluskan proses tersebut melalui suap. Penetapannya sebagai tersangka memicu debat tentang kemurnian hukum dan apakah hukum di Indonesia sedang dipolitisasi. Banyak yang mengkritik KPK karena tindakan ini dianggap terlambat dan mungkin dipengaruhi oleh perubahan politik pasca-pemilu 2024.
Muncul cuitan di media X yang menuduh bahwa keadilan dan demokrasi sedang dipermainkan, dengan beberapa menyatakan bahwa kasus ini adalah permainan politik. Ada spekulasi bahwa Hasto memiliki perlindungan dari mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang bisa menjadi alasan kenapa kasus ini baru ditindak lanjuti setelah Jokowi tidak lagi berkuasa.
Sementara itu, ada juga yang mendukung tindakan KPK, menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Namun, narasi tentang politisasi hukum mendominasi diskusi, terutama dalam cuitan-cuitan di media X yang menyoroti ketidakadilan dan keterlambatan penegakan hukum.
PDIP mengeluarkan pernyataan bahwa penetapan Hasto sebagai tersangka adalah bentuk politisasi hukum dan kriminalisasi yang dipaksakan. Melalui media X, mereka menyatakan dukungan kepada Hasto dan menolak tuduhan yang diarahkan padanya.
Kasus ini menggambarkan bagaimana media sosial, khususnya X, memainkan peran besar dalam membentuk opini publik di Indonesia, sering kali dengan pandangan yang sangat beragam dan polarisasi. Kasus Hasto Kristiyanto mengungkap kompleksitas hubungan antara hukum, politik, dan opini publik di Indonesia.